Makna tradisi sunatan di Indonesia
Makna tradisi sunatan di Indonesia
Kamis, 11 Desember 2025 10:59 WIB | 74 views

Di Indonesia, sunatan atau khitan bukan sekadar prosedur medis demi kesehatan. Lebih dari itu, sunatan adalah momen sakral, sebuah "gerbang" transisi seorang anak laki-laki menuju kedewasaan.

Tak heran jika di berbagai daerah di nusantara, momen ini dirayakan dengan meriah, penuh warna, dan sarat akan doa. Bagi para orang tua, memahami makna di balik tradisi ini bisa membuat acara syukuran (Walimatul Khitan) menjadi lebih berkesan.

Lantas, apa sebenarnya makna mendalam dari tradisi sunatan dalam budaya kita?

1. Simbol Pembersihan Diri (Thaharah) dan Ketaatan

Sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim, tradisi sunat di Indonesia sangat lekat dengan nilai syariat Islam. Sunat adalah bentuk thaharah (bersuci).

Secara budaya, masyarakat kita memandang anak yang belum disunat sebagai anak kecil yang "belum bersih". Setelah disunat, sang anak dianggap sudah siap untuk menyempurnakan ibadahnya. Momen inilah yang dirayakan: rasa syukur orang tua karena anaknya telah menjalankan salah satu fitrah manusia dan syiar agama.

2. Fase Menuju Kedewasaan (Aqil Baligh)

Pernahkah Anda mendengar istilah orang tua zaman dulu, "Kalau belum disunat, belum jadi laki-laki"?

Dalam budaya sosial Indonesia, sunatan adalah rite of passage atau upacara peralihan. Ini adalah titik balik psikologis bagi anak laki-laki. Sebelum disunat, mereka mungkin masih dianggap manja. Namun setelah prosesi ini selesai, ada harapan dan tanggung jawab baru yang disematkan agar si anak mulai belajar menjadi pribadi yang lebih berani, tangguh, dan dewasa.

3. Ragam Perayaan Unik di Berbagai Daerah

Kekayaan budaya Indonesia melahirkan tradisi perayaan sunat yang unik dan berbeda-beda, antara lain:

  • Sisingaan (Jawa Barat/Sunda): Salah satu tradisi paling populer. Anak yang akan disunat (disebut Penganten Sunat) diarak menaiki boneka singa yang dipikul oleh empat orang, diiringi musik gamelan yang riuh. Maknanya adalah untuk menghibur si anak agar tidak takut, sekaligus menyimbolkan keberanian seperti singa.

  • Arak-arakan Penganten Sunat (Betawi): Di budaya Betawi, anak didandani dengan jubah kebesaran layaknya pengantin mungil, lalu diarak keliling kampung, terkadang diiringi ondel-ondel dan tanjidor. Tujuannya untuk memberitahu warga bahwa si anak sudah memasuki fase baru dalam hidupnya.

  • Peusijuek (Aceh): Sebuah prosesi adat menaburkan beras padi dan memercikkan air tepung tawar sebagai simbol pemberian semangat dan doa keselamatan bagi si anak.


4. Transformasi Tradisi di Era Modern

Meskipun zaman telah berubah, esensi dari tradisi sunatan tidak hilang. Yang berubah hanyalah cara pengemasannya.

Jika dulu orang tua harus berkeliling kampung door-to-door untuk mengundang tetangga dan kerabat, kini budaya gotong royong tersebut bertransformasi ke ranah digital. Di era modern ini, "mengabarkan berita bahagia" menjadi lebih praktis namun tetap sopan.

Acara syukuran mungkin kini lebih sederhana, dilakukan di rumah atau gedung dengan katering, namun nilai silaturahminya tetap nomor satu.


Merayakan khitanan anak adalah cara kita melestarikan budaya sekaligus mendoakan masa depan buah hati. Apapun tradisi yang Anda pilih, baik itu pesta meriah dengan adat daerah atau syukuran sederhana bersama anak yatim, yang terpenting adalah niat tulus untuk mensyukuri pertumbuhan si kecil.



Berikan Komentar Via Facebook